Rabu, 27 April 2011

Betapa mulianya hatimu, Mama...


Suatu hari... di rumah Eyang Putri (begitulah anakku biasa memanggil Mama), ku lihat Mama tengah bercakap-cakap dengan adik perempuanku satu-satunya yg sudah kian beranjak dewasa. Dari mimik mulut mereka, aku tau pasti mereka sedang membicarakan Papa yg memang jarang pulang akhir-akhir ini. Menurut pengakuannya sih kerja, ya maklumlah Papaku adalah seorang pengusaha Pub dan Resto yg cukup sibuk. Dan Resto Papa kebanyakan ada di luar kota. Jadi dalam sebulan, paling banter Papa pulang hanya tiga sampai empat kali saja. Itupun hanya setengah hari bisa duduk nyantai di rumah bersama kami sedangkan malamnya Papa harus pergi lagi ngurusin Pub dan Karaoke.

Papa selalu menenteng tas laptopnya setiap kali pulang dan turun dari Aerio-nya. Masih mengenakan kemeja lengan panjang dipadu dengan celana kain warna hitam dan sepatu coklat yg mengkilat. Begitulah gambaran setiap kali Papa pulang.



Dengan mata masih setengah nyawa, aku keluar dari kamar, setelah seharian tertidur pulas, kecapekan nyetir dari rumah kami di luar kota sampai ke rumah Mama tanpa ada yg menggantikan. Ku biarkan istri dan anakku melanjutkan tidur siangnya. Di sela-sela almari hias, dari balik tirai kelambu, ku lihat Mama sedang duduk di lantai keramik, memilah-milah baju Papa yg baru saja ia angkat dari tali jemuran. Disampingnya berbaring manja adik cantikku satu-satunya.



"Gak terasa, sudah 18 tahun usiamu, Adikku..." gumamku dalam hati.



"Mama..." dia Ratih namanya, "Mama kenapa sih gak pernah protes ngeliat Papa jarang pulang gitu?"



"Papa kamu lagi kerja Sayang..." sahut Mama tenang.



"Bo'ong..! Ratih ni udah gedhe Ma... uda tau sama hal-hal kayak gituan.."



"Hal-hal kayak gituan gimana maksud kamu??"



"Banyak temen Ratih yg ngeliat Papa sering jalan sama gadis-gadis cantik seumuran Ratih Ma..."



"huss..! Jangan asal bicara ya kamu, kalo Papa denger bisa marah lho.."



"halaaaah... udalah Ma.. Mama gak usah nutup-nutupin lagi.. Ratih udah tau semuanya." sanggah Ratih sambil mencibir.



Ku lihat Mama lalu meletakkan baju yg tengah dipegangnya di atas alas setrikaan dan kemudian menggenggam kedua tangan Ratih erat. Dengan senyum penuh kasih dipandangnya sepasang mata itu dalam-dalam,



"Anakku... ingatlah selalu apa yg hendak Mama katakan ini. Dan ingat itu ketika kelak kamu sudah berumah-tangga dan suami kamu sudah setua Papa. Laki-laki seusia Papa itu, tengah mengalami masa remajanya yg kedua. Dia mulai sedikit kekurangan kepercayaan akan dirinya. Karena itu dia merasa membutuhkan gadis-gadis cantik dan muda di sekelilingnya yg akan selalu memberinya kata-kata pujian dan sanjungan. Yg dianggabnya itu sebagai bukti bahwa dia masih menarik, bahwa dia masih belum tua, bahwa para wanita masih mengejar-ngejar dia."



Mama mengguncang-guncang tangan Ratih pelan dan mengusap anak rambut yg menempel di dahinya.



"

Masa itu tidak akan berlangsung lama, Sayang... Bila sudah berlalu, Papa akan kembali lagi pada kita, pada Mama... Dan selama menanti, tidaklah berguna bagi Mama untuk bermuka asam atau menyambutnya dengan palang pintu, sebab itu hanya akan membuatnya lari dari rumah yg dianggabnya sudah jadi seperti neraka. Lebih baik kalo dia dimanjakan dan diberi kesan bahwa dia dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingat Ratih... tidak ada seorangpun yg tidak tergerak hatinya ketika mendapat perhatian lebih dari orang lain. Percayalah itu. Camkan baik-baik apa yg Mama bilang. Bila suamimu kelak sudah berumur mendekati lima puluh tahun, dan bila dia mulai tertarik lagi pada gadis-gadis cantik, janganlah kamu musuhi dia. Tapi tetaplah berhias yg cantik, sediakan minuman dan makanan yg masih hangat dan bereskan selalu tempat tidurnya. Siapkan baju-baju yg akan dipakainya seperti biasa.

Tutup mata kamu dan tersenyumlah. Tunggu sampai masa itu usai dan setelah semua berlalu, kamu akan merasakan sebuah kenikmatan hidup yg luar biasa. Yaitu ketika suami kamu akhirnya benar-benar kembali. Karena sesungguhnya, Tuhan akan memberikan sesuatu yg lebih pada hamba-Nya yg senantiasa sabar dan tawakal."



"Mama...." spontan Ratih langsung bangun dan memeluk Mama erat sambil menangis.



Subhanallah... begitu mulianya hatimu Mama..

Dengan begitu bijaknya, Mama menjawab pertanyaan Ratih, membela Papa yg sudah jelas-jelas bersalah, mengkhianati kepercayaan yg Mama berikan. Jujur aku kagum pada kemuliaan hatimu Ma... dan semua apa yg Mama katakan itu benar-benar membuatku tergugah. Aku janji, aku akan berusaha untuk sebisa mungkin mengindari hal itu.

Ya Allah... betulkah semua apa yg Mama katakan itu..? Akankah aku nanti juga seperti itu?? Jangan ya Allah... jangan Kau buat hamba menjauh dari istri dan anak-anak hamba. Hamba sayang banget dengan mereka.#



====================================================================

Pesan:

Semua kisah di atas hanyalah fiksi semata yg saya tulis karena terinspirasi dari postingan Vie_three, Mama dan Bunda yg di ikutkan dalam Karnaval Blog : Minum Teh Bersama Ibu dari guskar.com

Sedangkan pada kenyataannya, saya ndak pernah punya adik karena saya anak bungsu dan kedua orang tua saya sudah beristirahat dengan tenang di sisi-Nya sejak beberapa tahun silam.

Ini semua hanyalah khayalan masa kecil saya sebagai anak bungsu yg pengin sekali punya seorang adik perempuan.

Andaikan saya anak pertama dan memiliki satu adik perempuan... tinggal di sebuah rumah mewah... mempunyai Papa seorang pengusaha dan Mama yg sangat bijak dan penyabar... hmmm... betapa nikmat dan indahnya hidup ini ya Allah...

Jadi saya ndak perlu bela-belain ngamen, nyopet hanya demi untuk membayar tunggakan SPP, hahaha.... santai aja Bos... jangan terlalu di ambil hati.



Keep spirit and Be A Great Person..!

1 komentar: