Senin, 02 Februari 2009

ratifikasi perjanjian internasional

Perjanjian Internasional Dalam Sistem Perundang–Undangan Nasional

Oleh: Lies Sulistianingsih, SH

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mempengaruhi kehidupan bangsa - bangsa di dunia. Sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa – bangsa di dunia, semakin berkembang pula permasalahan – permasalahan dalam masyarakat internasional dan menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan dalam Hukum Internasional.

2. Hukum Internasional merupakan sistem aturan yang digunakan untuk mengatur negara yang merdeka dan berdaulat (1).
Hukum Internasionall terdiri atas sekumpulan hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip – prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara – negara dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan antara negara, yang juga meliputi:

  • Peraturan – peraturan hukum tentang pelaksanaan funsi lembaga – lembaga dan organisasi – organisasi Internasional serta hubungannya antara negara – negara dan individu – individu.
  • Peraturan – peraturan hukum tertentu tentang individu – individu dengan kesatuan – kesatuan bukan negara, sepanjang hak – hak dan kewajiban individu dengan kesatuan kesatuan tersebut merupakan masalah kerjasama internasional.

3. Pada dasarnya berklakunya Hukum Internasional didasarkan pada 2 prinsip :

  • Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian harus dan hanya ditaati oleh pihak – pihak yang membuat perjanjian.
  • Primat Hukum Internasional , Yaitu perjanjian internasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang – undang Nasional Suatu negara perserta perjanjian.

Namun dalam perkembangan hubungan Internasional dewasa ini terdapat ajaran (doktrin) Tentang hubungan Hukum Internasional, yang dikenal sebagai Doktrin Inkoporasi.
Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian Internasional adalah bagian dari Hukum Nasional yang mengikat, dan berlaku secara langsung setelah penanda tanganan, kecuali perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan lembaga legislatif, dan baru dapat mengikat setelah diatur dalam peraturan perundang – undangan nasional suatu negara. Doktrin ini dianut oleh Inggris dan negara negara Anglo Saxon lainnya.
Amerika juga menganut doktrin ini, namun membedakannya dalam:

  • Perjanjian Internasional yang berlaku dengan sendirinya (Self Execuing Treaty), dan
  • Perjanjian Internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (Non Self Executing Treaty)

Perjanjian – perjanjian Internasional yang tidak bertentangan dengan konstitusi Amerika dan termasuk dalam Self Executing Treaty, akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasionalnya. Sedangkan Perjanjian Internasional yang Non Self Executing baru dapat mengikat pengadilan di Amerika setelah adanya peraturan perundang – undangan yang menjadikannya berlaku sebagai Hukum Nasional.

Perbedaan antara self executing dan non self executing Treaty tidak berlaku untuk perjanjian – perjanjian yang termasuk golongan executive agreement karena tidak memerlukan persetujuan Badan Legislatif (Parlemen), dan akan dapat langsung berlaku.

Dalam Sistem hukum kontinental di Jerman dan Perancis, suatu perjanjian internasional baru dapat berlaku apabila sesuai dengan ketentuan hukum nasional tentang Pengesahan Perjanjian, dan diumumkan secara resmi. Indonesia menganut sistem hukum kontinental.

4. Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian – perjanjian yang dapar membuat hukum (Law Making Treaties).

5. Pada Tahun 1969, negara – negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan Perjanjian Internaional sebagai persetujuan (agreement) antara dua negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik menurut Hukum Internasional.

6. Bentuk dan istilah perjanjian Internasional antara lain adalah :

  • Konvensi / Covenant
    Istilah ini digunakan untuk perjanjian – perjanjian resmi yang bersifat multilateral, termasuk perjanjian perjanjian yang dibuat oleh lembaga dan organisasi internasional, baik yang berada si bawah PBB maupun yang independen (berdiri sendiri).
  • Protokol
    • Bisa termasuk tambahan suatu kovensi yang berisi ketentuan – ketentuan tambahan yang tidak dimasukkan dalam kovensi, atau pembatasan – pembatasan oleh negara penandatangan.
    • Protokol juga dapat berupa alat tambahan bagi kovensi, tetapi sifat dan pelaksanaannya bebas, dan tidak perlu diratifikasi.
    • Ada juga protokol sebagai perjanjian yang sama sekali berdiri sendiri (independen).
  • Persetujuan (agreement)
    Persetujuan (agreement) biasanya bersifat kurang resmi dibanding perjanjian atau kovensi. Umumnya persetujuan (agreement) digunakan untuk persetujuan – persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit atau yang sifatnya lebih tehnis dan administratif, dan pihak – pihak yang terlibat lebih sedikit dibandingkan kovensi biasa.
    Persetujuan (agreement) cukup ditandatangani oleh wakil – wakil departemen pemerintahan dan tidak perlu ratifikasi.
  • Arrangement
    Hampir sama dengan persetujuan (agreement), umumnya digunakan untuk hal – hal yang sifatnya mengatur dan temporer.
  • Statuta
    Bisa berupa himpunan peraturan – peraturan penting tentang pelaksanaan funsi lembaga Internasional
    Statuta juga bisa berupa himpunan peraturan – peraturan yang di bentuk bedasarkan persetujuan internasional tentang pelaksanaan fungsi – fungsi suatu institusi (lembaga) khusus dibawah pengawasan lembaga / badan – badan internasional.
    Dapat juga statuta sebagai alat tambahan suatu kovensi yang menetapkan peraturan – peraturan yang akan di terapkan.
  • Deklarasi
    Istilah ini dapat berarti :
    - Perjanjian yang sebenarnya
    - Dokumen tidak resmi, yang dilampirkan pada suatu perjanjian
    - Persetujuan tidak resmi tentang hal yang kurang penting
    - Resolusi oleh Konferensi Diplomatik
  • Mutual Legal Assistance
    Perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih dalam rangka memberikan bantuan yang bersifat untuk saling membantu.

7. Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan.
Pasal 14 Kovensi Wina 1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat.
Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan negara.
Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.

Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

8. Sistem Hukum nasional
Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional.
Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
(1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
(2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.

Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan - ketentuan sebagai berikut:

  • Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.
  • Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.
    Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.

Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).
c. Peraturan Pemerintah (PP).
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah
f. Peraturan Desa

Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional).

9. Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang – undang yang dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan Undang – undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut.

10. Kesimpulan
Perjanjian Internasional yang telah diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang – undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal ada perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian, maka Perjanjian Internasional Tersebut tidak dapat dilaksanakan.

2 komentar:

  1. udah berapa banyak sih indonesia meratifikasi konvensi internasional ke dalam hukum nasionalnya??

    BalasHapus
  2. Sbnernya proses scra simpel ratfikasi hkm inter mjd h.nasional tu gimana,

    BalasHapus